(Germany-Singapore-Indonesia) PPDS.Germany@gmail.com

Blog Details

Mengapa Jerman menjadi tempat pilihan saya untuk residensi?

Oleh Dr Lola Fedora

 

Saat teman-teman mengucapkan pernyataan, saya mau melanjutkan residensi di Jerman! Percayalah, pertanyaan di atas akan selalu di tanyakan oleh keluarga teman, sekalian netizen-netizen di sosial media. Sesampainya di Jerman, bertemu teman baru, lalu mendaftar kerja di Rumah Sakit. Pertanyaan tersebut kerap kali muncul. Jadi sebelum kalian mengambil langkah besar dalam hidup kalian. Mari tanyakan lagi kenapa ya saya mau ke Jerman?

 

Sebuah cerita singkat, mengapa saya memutuskan melanjutkan residensi ke Jerman. Delapan tahun yang lalu, saat saya menerima STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai Dokter Indonesia adalah hari yang paling membingungkan dalam hidup. Jujur saya belum tahu, mau ngapain ya setelah lulus jadi dokter. Mendaftar spesialiasi? Bekerja di Rumah Sakit? Ambil Magister? Terus mau jadi spesialis apa? Saat kuliah, saya selalu ingin menjadi dokter spesialis kulit. Kemudian saat internship, saya merasa tertarik dengan ilmu penyakit dalam. Pernah juga bahkan berpikir jadi dokter estetik sehingga sempat ikut kursus kecantikan di suatu Lembaga. Melihat teman-teman lainnya, mereka sudah sibuk untuk magang di salah satu Universitas/Rumah sakit. Ada juga yang langsung bekerja di Rumah Sakit atau daftar spesialisasi.

 

Berawal dari ketidakyakinan mau mengambil jurusan spesialisasi apa, akhirnya saya memutuskan untuk liburan selama sebulan di Belanda, tempat keluarga tante saya tinggal. Disana saya mulai melihat dan berinteraksi dengan kehidupan di Eropa, sampai akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya di Eropa. Salah satu dorongan untuk lanjut studi ke luar negri justru datang dari ibu saya. Beliau merasa kehidupan di Eropa lebih baik, hal tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh adik-adiknya yang memang sudah tinggal puluhan tahun di Belanda.

Muncul lagi pertanyaan, kenapa ga di Belanda saja? Pada tahun 2016, beberapa kakak kelas saya sudah tinggal di Jerman dan menjadi salah satu tempat saya bertanya. Sedangkan, saya tidak punya koneksi dengan dokter Indonesia yang mengambil spesialis di Belanda. Tahun 2016 informasinya masih sedikit, sehingga bertanya dari mulut ke mulut merupakan cara yang saya pakai untuk mengumpulkan informasi. Sampai sekarang, saya mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang pada saat itu mau meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Saya bersama kolega-kolega saya di Rumah Sakit sedang Frühstück bersama

 

Akhirnya, langkah pertama saya yaitu belajar bahasa Jerman di Gemasprachenzentrum BSD intensif selama 6 bulan. Jujur bahasa Jerman bukan bahasa yang mudah untuk dipelajari. Banyak aturan yang mesti dipakai agar bisa berbahasa yang baik dan benar. Disini mungkin saringan pertama. bahasa, apakah dengan bahasa yang sesulit ini kamu mau lanjut ke Jerman atau tidak. Saya menyelesaikan hingga tingkat B2 di Indonesia sebelum berangkat menuju ke Jerman.

 

Sebelum keberangkatan ke Jerman, ada juga banyak dokumen yang harus dipersiapkan. Banyak dokumen yang harus disahkan oleh lembaga-lembaga tertentu di Indonesia, diterjemahkan ke bahasa Jerman, dan pada akhirnya diserhakan ke Kedutaan Jerman di Jakarta. Hanya setelah semua persyaratan tersebut dipenuhi maka kita siap untuk berangkat menuju tahap berikutnya di Jerman.

 

Setibanya di Jerman, saya melanjutkan perjalanan saya untuk belajar Bahasa Jerman dan mempersiapkan diri untuk masa depan saya sebagai Dokter di Jerman. Saya belajar membaca, menulis, mendengar dan berbicara secara intensif. Hal tersebut tidak mudah, karena kemampuan pengetahuan berbahasa dituntut hingga tahap yang cukup tinggi. Beruntung, saya mendapat teman belajar dari negara China. Kita belajar bersama dan akhirnya kita dapat memenuhi syarat Bahasa Jerman.

 

Pertama kali menginjakkan kaki di Jerman, mana punya keberanian untuk berbicara dengan orang jerman asli, takut juga ga bisa jawab. Karakter mereka sedikit berbeda, kalau teman-teman pernah berbicara dengan orang dari Amerika/Australia/Inggris, gaya bicara mereka lebih ramah dan santai. Untuk orang Jerman yang lebih kaku, tentunya sedikit berbeda. Namun didukung dengan kemampuan bahasa dan keramahan Indonesia, hal tersebut bisa cair. Beberapa teman dari negara Jerman, saya kenal melalui komunitas agama. Saat tersebut saya gunakan untuk latihan memperbaiki bahasa Jerman. Kira-kira begitulah latar belakang saya bisa sampai memutuskan berangkat ke Jerman. Pastinya cerita teman-teman berbeda dari saya. Cukup menarik memang mendengar cerita kenapa kita bisa nekat menginjakkan kaki di negara lebih dari 11.000 km dari Indonesia.

  • Related Tags:

Leave a comment

id_IDIndonesian